Gengsi atau Kualitas II

Akhirnya baru sekarang nih bisa nerusin nulis tentang gengsi dan kualitas. Jika pada artikel sebelumnya saya lebih melihat dari sisi kreatifitas anak dan nutrisi yang mereka dapatkan. Sekarang saya akan mengaitkan dengan pendidikan dan tingkat sosial masyarakat Indonesia pada umumnya. Dari analisa dan investigasi kecil-kecilan (ceile lebay) ada beberapa hal yang dapat saya tarik kesimpulan.

Ibu zaman sekarang lebih senang hal-hal yang praktis alias instan. Tahu kenapa? Karena kesibukan sebagai wanita karir, karena kesibukan arisan, karena kesibukan gosip sana sini (maaf ibu-ibu, meskipun tidak semuanya).

Pendidikan Non Formal
Sekarang saya ingin mengaitkan kreatifitas, kecerdasan anak, dan perilaku serta budi pekerti anak zaman sekarang dengan tingkat pendidikan baik formal (di sekolah) maupun non formal (lingkungan keluarga).

I Love You Mom, I Love You Son
I Love You Mom, I Love You Son

Kembali ke masa lalu. Buat saya meskipun waktu itu saya dilahirkan di keluarga yang pas-pasan, saya tetap merasa bersyukur. Sebab orang tua menanamkan disiplin dan etika Jawa yang  sangat kental. Sehingga kami waktu itu masih tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang seharusnya dan mana yang tidak, semua mengalir begitu saja karena itu sudah menjadi kebiasaan. Bahkan jika saya lihat, bisa dibilang generasi saya kemungkinan adalah generasi terakhir yang ‘sedikit’ mengenal ‘unggah ungguh’ dan ‘tepo sliro’ (tenggang rasa). Mohon maaf saja, jika melihat anak zaman sekarang banyak yang tidak tahu etika, berlaku kurang ajar, dan arogan. Jangankan unggah ungguh, berbahasa Jawa yang baik saja ‘pating pecotot’. Padahal jika ditanya kalian orang Jawa? jawabnya, “Iya”. Duhh …. (malu saya).

Buat saya, mau anak kita pintar 1000 bahasa sekalipun, mbok ya ooooo, nilai-nilai budaya kita tetap dijaga dan dilestarikan. Mosok nantinya kita hanya jadi ‘penonton’. Negara lain ‘ganyeng’ memakai bahasa Jawa, cas cis cus fasih berbahasa Jawa serta mengenal betul budaya Jawa. Eh kita malah plonga plongo. Malu jek … Bisa menangis nenek moyang kita. Okelah, semoga para orang tua mulai ditunjukkan jalan yang benar.

Pendidikan Formal
Saatnya saya melihat dari sisi pendidikan formal, dalam hal ini adalah sekolah dan perguruan tinggi. Jika melihat kompetisi dalam berbagai hal, memang menuntut kita selalu kreatif, inovatif, dan selalu berfikir out of the box. Tetapi bagaimana dengan pendidikan itu sendiri? Sudahkan mencetak siswanya untuk menjadi kreatif dan cerdas, jangan-jangan hanya mencetak manusia ‘pintar’ saja.

Ada artikel menarik yang saya baca dan pengakuan dari teman kerja. Sadar dan tidak sadar sistem pendidikan kita masih perlu banyak pembenahan, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Program pemerintah terhadap sistem pendidikan sebenarnya cukup bagus. Tetapi implementasi di lapanganlah yang cenderung salah kaprah, bisa karena oknum, atau karena sistem tersebut tidak dapat tersampaikan dengan benar hingga ke bawah. Atau yang paling tragis karena sumber dayanya yang tidak kompeten. (Kebetulan orang tua saya pensiunan pendidik dan prihatin dengan sistem pendidikan zaman sekarang).

Kembali ke artikel dan cerita teman saya. Ada pengalaman unik yang mereka ceritakan saat kebingungan memilihkan sekolah untuk anaknya. Ceritanya begini, sejak mulai menjejakkan bangku sekolah, tepatnya mulai pre school (play group) hingga Taman Kanak-Kanak, ia menyekolahkan anaknya di tempat sekolah ‘elit’. Di sekolah tersebut memang memberi kebebasan kepada anak untuk berkreasi dan berekspresi sesuka mereka. Intinya semua kesenangan mereka dapat terakomodir dengan baik. Mereka senang menjalani hari-harinya di sekolah.  Bahkan di rumah mereka dapat bercerita dengan detial tentang apa yang mereka pelajari di sekolah. Mereka dapat mendeskripsikan kehidupan binatang tertentu, memahami kehidupan binatang tertentu secara detail.

Sampai dapat disimpulkan bahwa secara tidak sadar mereka sudah belajar riset dan analisa. Tetapi di sekolah tersebut anak teman saya tidak diajari membaca, menulis, dan berhitung. Hingga pada akhirnya saat lulus dari TK tersebut, teman saya kesulitan mencarikan sekolah lanjutan, tepatnya Sekolah Dasar (SD). Tahu kenapa? Sangat simpel, beberapa SD, terutama yang memiliki reputasi baik mensyaratkan calon siswa harus bisa berhitung, membaca, menulis, bahkan ada yang mensyaratkan harus sudah bisa berbahasa Inggris. Duaarrrrrr …. alangkah terpukulnya teman saya tersebut. Sejauh ini ia sudah mengeluarkan biaya sekolah yang cukup banyak tetapi ternyata ia merasa salah memasukkan anaknya di TK sebelumnya.

Coba kita cermati lagi, mana yang salah. Teman saya? atau sistem pendidikannya? Sayapun sempat heran dengan syarat-syarat dari SD tersebut. Lebay ciingggg ….. Masak anak baru lulus TK harus sudah memenuhi seluruh kriteria seperti itu. Sehingga mau tidak mau teman saya tiap malam mengajari anaknya untuk dapat membaca, menulis, berhitung, dan belajar bahasa Inggris hanya agar anaknya dapat bersekolah di sekolah favorit.

Contoh lain di tingkat pendidikan tinggi. Apa sih yang membuat lulusan dari Indonesia masih sulit berkompetisi dengan lulusan bule? Kenapa sih perusahaan di Indonesia lebih menghargai lulusan luar negeri daripada lulusan Indonesia? Siapa yang dapat menjawabnya?

Ada guyonan yang menggambarkan kondisi mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan mahasiswa luar negeri, tepatnya mahasiswa di Jepang. Saat perkuliahan, mahasiswa Indonesia senang berada dibangku belakang, sedang di Jepang, berebut bangku terdepan. Saat perkuliahan berlangsung, mahasiswa Indonesia ada yang ngobrol, ada yang facebookan, lebih parah ada yang ngiler dan ngorok gara-gara semalem lembur main game. Saat telat mengikuti kuliah, mahasiswa di Indonesia nyolong kayak bajay remnya blong, jangankan malu, besoknya di ulang lagi dan lagi. Lebih parah merasa bangga kalau dapat predikit raja telat.  Sedangkan di Jepang, mahasiwa langsung meminta maaf, menganggukkan badan, dan berjanji tidak mengulangi lagi.

Cerita di atas adalah contoh kecil perbedaan mahasiswa di Indonesia dan luar negeri. So, mau seperti apakah pendidikan ini dibawa? Rhenald Kasali pernah berbagi cerita tentang pendidikan anaknya. Ia membandingkan kultur budaya pendidikan di Indonesia dan Amerika. Sistem pendidikan di Amerika lebih mengedapankan ‘encouragement’ bukan ‘judgement’ atau ‘punishment’. Mahasiswa itu perlu di dorong, dibimbing, bukan dipaksa. Bayangkan saja, jika mahasiswa hanya menilai keberhasilan pendidikannya hanya dari nilai A yang mereka dapatkan. Itu bisa menjadi mala petaka. Hidup itu tidak sebatas nilai A bung. Hidup itu suatu proses, proses yang harus dijalani berdarah-darah. Lihatlah contoh negara terhormat seperti Jepang. Mereka cerdas, elegan, dan berbudaya dalam bernegara. Kultur masyarakatnya yang menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan.

Kesimpulan
Dari seluruh paparan saya di atas, marilah kita duduk bersama, tidak hanya memikirkan perut kita masing-masing. Bawa negara ini ke arah yang lebih baik. Perbaikan holistik perlu dilakukan di seluruh lini, pendidikan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Hakekat kehidupan manusia hanya dibedakan dari seperti apa mereka menjalani kehidupan ini. Bermanfaat dan bermartabatkah kehidupannya di dunia ini. Atau hanya rutinitas yang tahu ujung pangkalnya. Hidup itu bukan hanya hitam dan putih, hidup itu ada warna lain.

Para orang tua, pendidik, dan pemerintah. Pikirkanlah generasi bangsa ini. Jangan mandahulukan keinginan, gengsi, dan meniru saja. Tapi lihatlah potensi mereka. Dengarlah suara anak-anakmu, suara rakyatmu. Maju terus bangsaku. Bangsa Indonesia.

“Mohon maaf jika ada salah kata dan penulisan, semua adalah karena kelemahan saya sebagai manusia biasa yang ingin melihat negara ini benar-benar menjadi lebih baik.”

7 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.