Perubahan itu Harga Mati

Bebera waktu yang lalu marak pemberitaan di media massa terkait kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) khususnya di Jawa Timur. Respon datang dari berbagai kalangan, pemilik usaha, buruh, praktisi, dan akademisi memberi opini dari sudut pandang masing-masing. Tapi ya sudahlah, semua punya dasar pemikiran masing-masing, kalau didebat pasti tidak ada ujung pangkalnya. Semoga semua bisa saling memberi manfaat.

Sebenarnya saya sempat tercengang saat mengikuti sebuah acara dan membaca statistik yang disuguhkan. Intinya, siapkah Indonesia menghadapi ASEAN Economic Community (AEC). Dilihat dari aspek ekonomi, populasi, dan geografis, Indonesia sejatinya unggul dibanding negara ASEAN lainnya, namun setelah melihat data, penyebab utama daya saing Indonesia lemah dibanding negara ASEAN lainnya adalah etos kerja yang rendah dari rata-rata karyawan di Indonesia, tentu saja hal ini harus dicari tahu penyebabnya dan tidak serta merta menyalahkan buruh/karyawan. Melihat kondisi ini semua harus segera introspeksi diri dan berubah secepatnya, kalau woles saja ya siap-siap ditinggalkan.

Sebagai sebuah organisasi tentu menyadari tuntutan dunia industri seperti apa, tuntutan pelanggan seperti apa, sehingga tetap memiliki daya saing dengan kompetitor manapun. Ujung-ujungnya dari semua bisnis adalah kepuasan pelanggan, penjualan, dan kelangsungan hidup perusahaan yang berkelanjutan (sustainable). Jika kita melihat tren dunia, perubahan sudah tidak terelakkan lagi. Bahkan wajib hukumnya untuk berubah.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah merubah budaya dan tatanan kehidupan di masyarakat, dulu kita hanya melihat televisi hitam putih, sekarang kita sudah mengenal internet sebagai dunia tanpa batas yang melibatkan interaksi dua arah bahkan multi kanal. Di level pekerja juga telah terjadi banyak perubahan. Dulu pekerja hanya pasrah, loyal, sesuai background, dan kompeten yang melahirkan human capital handal. Sekarang ada lagi istilah psychological capital yang diartikan sebagai modal psikologis atau semacam modal sikap dan perilaku yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan seseorang. Diuangkap Luthans (2007:3) bahwa psychological capital memiliki empat dimensi, yaitu (1) memiliki kepercayaan diri (self efficacy) untuk menghadapi tugas-tugas yang menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas-tugas tersebut; (2) membuat atribusi yang positif (optimism) tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan; (3) tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadapkan pada permasalahan serta halangan dapat bertahan kemudian kembali (resiliency) untuk mencapai kesuksesan. Sedangkan menurut Menurut Osigweh (1989), psycological capital adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi.

Kondisi di atas menjelaskan, bahwa beberapa tipe pekerja menganggap ada faktor lain yang dianggap penting dalam berkarir selain faktor keuangan. Pekerja tipe sekarang perlu eksistensi diri, perlu dimanusiakan, perlu aktualisasi diri, dan terpenting perlu tumbuh kembang secara material, mental, dan spiritual. Jika perusahaan tidak lagi mampu menangkap sinyal-sinyal kuat dari pekerjanya yang memiliki karakteristik seperti itu, bisa jadi mereka akan kehilangan aset penting perusahaan. Pada akhirnya mereka hanya ‘memelihara’ pekerja-pekerja’ loyalis yang tipikal pasrah bisa disuruh dan menurut tetapi kenyataannya mereka sudah ‘mati’. Kelangsungan hidup organisasi saat ini sangat ditentukan oleh tipikal pekerja atau orang-orang yang fleksibel dan tanggap terhadap perubahan cepat (adaptif).

Beberapa waktu yang lalu penulis sempat membaca artikel di sebuah surat kabar yang mengupas tentang teori generasi. Di dunia, saat ini dihuni oleh generasi Baby Boomer (1946-1964), generasi X (1965-1980), generasi Y (1981-1994), generasi Z, lahir 1995-2010, dan generasi Alpha (2011-2025). Generasi Z (disebut juga iGeneration, Generasi Net, atau Generasi Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y. Meskipun dihuni oleh lima generasi yang berbeda, usia produktif dihuni mulai Gen X beberapa mungkin masih ada yang dari baby boomer. Agar dapat bersaing dan kompetitif dalam persaingan bisnis di era digital seperti sekarang, mau tidak mau harus mengikuti pola pikir, keinginan, dan gaya hidup generasi-generasi yang dominan saat ini.

Change or Not
Change or Not

Dalam manajemen, kita mengenal lima generasi manajemen, jika generasi IV (value creative management) dengan total quality managementnya (TQM), saat ini sudah masuk dalam management by knowledge and networking base. Teori yang digagas oleh Charles M. Savage dalam bukunya Fifth Generation Management – integrating enterprises through human networking, 1990; mengutamakan kualitas melalui kepuasan individu (pelanggan maupun anggota organisasi); ciri utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan perusahaan melalui jaringan manusia; unsur manusia di dalam organisasi dihargai sangat tinggi sebagai individu yang memiliki keahlian-keahlian tertentu; individu anggota organisasi bukan hanya sekedar alat produksi. Hal itulah yang mendasari lahirnya fungsi-fungsi kerja/jabatan yang lebih spesifik.

Indonesia yang masih masuk kategori sebagai negara stoller (pejalan santai) harus mulai memutar otak jika tidak ingin makin tertinggal dengan negara tetangga yang sudah mulai menjadi sprinters (pelari jarak pendek). Lalu kapan Indonesia akan menjadi skater atau strider?. Ya tergantung bagaimana sumber daya manusia (SDM) Indonesia menyikapi tantangan ini. Agar siap menghadapi era AEC atau MEA yang sudah dipelupuk mata, sudah seharusnya semua stakeholder memiliki Global Mindset. Bagaimana dengan Anda? perusahaan Anda? Sudah siapkah? Perubahan itu harga mati.

Disadur dari berbagai sumber.

Add a Comment

Your email address will not be published.